Wednesday, June 15, 2011

#indonesiajujur: mana terangmu??

Hari ini saya sedang membaca surel di yahoo, ketika membaca tentang insiden kecurangan massal yang dilakukan secara serempak di SDN Gadel 2, Kecamatan Tandes. Sebagai salah satu anak yang bisa dibilang cukup beruntung karena bersekolah di sekolah dengan didikan yang cukup keras, saya cuma bisa terdiam.

Miris, rasanya. Gimana di Indonesia makin banyak kejadian yang menunjukan, dosa sudah merajai segenap lapisan. Masa, yang menyatakan kebenaran untuk tidak mencontek malah harus meminta maaf? Apa salahnya Ibu Siami itu? Apakah Ibu Siami adalah orang yang patut dipersalahkan karena sebagian besar murid dan guru SDN Gadel 2 tersebut tidak mempersiapkan Ujian Nasional dari jauh-jauh hari sebelumnya? Apakah Ibu Siami adalah orang yang harus dipersalahkan karena masih memiliki nurani untuk dapat membedakan benar dari salah? Apakah Ibu Siami nantinya bertanggung jawab apabila sampai sebagian besar murid-murid SDN Gadel 2 itu tidak mencapai standar kelulusan yang diharapkan sekolah?

Di mana nuranimu???????????????????

Pas bekerja untuk atasan yg sedikiiiit rewel (dalam artian punya standar kerja yang tuinggiiiii bener) Sophie jadi makin ngeh tentang yang namanya standar. Kalau dulu di SMU standar itu tidak dikerjakan dengan sadar (karena tidak dengan paksaan dan omelan seperti halnya dengan atasan yang sedikiiit rewel itu), karena sekelas sama-sama dikenakan tuntutan minimal yang sama. Semuanya mendapatkan pekerjaan rumah (atau PR) yang tidak sedikit, dan semuanya harus tau tentang gmn penyelesaian PR itu. Mau itu matematik kek, sejarah kek, tata negara kek, bahasa inggris kek, pokoknya ga ada cerita kita ga ngerjain PR dan tidak menerima konsekuensinya. Kalaupun misalnya pas lagi ga ketauan, pas ulangan (atau test) juga akan segera ketahuan kalau ga ngerti topik yang sudah pernah diberikan PR itu. Apalagi pas belajar kelompok (entah itu diskusi atau ada tugas)... kalo masih mau leha-leha, makin berasa lah jarak perbedaan ketidak-tahuannya antara yang ngerti, yang ga ngerti dan masih mau belajar dengan yang ga ngerti dan ga mau belajar. Ketahuan jadi yang ga ngerti aja udah ga asik, apalagi jadi yang ga ngerti dan ga mau belajar? Malu beradh deh... Dulu malah ada satu guru (guru fisika) yang bagiin hasil ulangan berdasarkan urutan nilai hasil ulangan itu!

Nah, standar itu paling ketahuan (memang) ketika pembagian raport. Itu pun biasanya hanya diumumkan siapa yang ada peringkat 1 sampai 3. Sebenernya Sophie ga terlalu peduli siapa yang peringkat berapa. Tapi kalau dilihat lagi... bisa dibilang Sophie sangat beruntung berada dalam sekolahan yang disiplinnya cukup baik. Ditambah lagi ketika bekerja dengan atasan yang sedikiiit rewel itu. Mungkin terlihatnya adalah, dia begitu mengekang dengan memeriksa dengan teliti setiap hasil pekerjaan. Tapi sebenarnya yang dilakukannya hanyalah menetapkan standar yang tinggi buat bawahannya.

Itulah alasannya, Sophie miris baca berita di atas. Ga terbayang kalau yang di sekolahan Sophie adalah (mungkin tergolong) minoritas, malah jadi golongan mayoritas. Secara bersama-sama, satu sekolahan itu bukannya memikirkan bagaimana caranya agar murid-murid bisa semakin menguasai apa yang harus dipelajari; malah memikirkan bagaimana caranya agar murid-murid bisa lulus ujian nasional titik. Betapa rendah standar yang telah ditetapkan sekolah tersebut.

Salah satu poin yang muncul ketika memikirkan kejadian di SDN Gadel 2 ini adalah, betapa buruknya apabila kita hanya memiliki orientasi hasil dan bukan proses. Kalau orientasi belajar kita adalah hasil, tidak heran yang terjadi adalah seperti yang terjadi di SDN Gadel 2 -> proses, atau cara mendapatkan suatu tujuan tidak lagi dihiraukan. Boleh saja dengan melindas nilai-nilai penting yang seharusnya dipelajari murid-murid SD tersebut dari dini.

Padahal dari satu sudut pandang, bisa juga dilihat seperti ini: justru dengan, katakanlah, gagal ujian nasional (karena malas belajar dan tidak persiapan sebaik-baiknya dari jauh-jauh hari) anak SD tersebut belajar dengan cara yang wajar tentang konsekuensi logis dari tindakannya? Betapa disayangkannya apabila pelajaran berharga semacam itu baru dipelajari, nanti ketika sudah dewasa dan tindakan yang berorientasi hasil yang dilakukannya ini ketahuan? Plagiat karya tulis? Menyogok demi diterima kerja? Korupsi dalam pekerjaan?

Atau lebih lagi... Jangan bicara soal ketahuan deh... Bagaimana dengan 'kejahatan-kejahatan' yang akhir-akhir ini makin dilakukan orang-orang secara beramai-ramai, dan bahkan dari tindakan diam-nya polisi, mulai muncul preseden bahwa 'kejahatan-kejahatan' itu tidak lagi dianggap salah? Misalnya: pengendara motor yang menerobos lampu merah HANYA karena pengemudi di arah lain masih jauh? pengemudi yang tidak lagi mau menunggu lampu lalu lintas menjadi hijau di belakang garis stop HANYA karena di belakangnya banyak kendaraan? permintaan uang rokok ketika mengurus perpanjangan KTP?

Dan yang lebih menyedihkan lagi, Sophie sendiri sering tidak berani untuk menyuarakan kebenaran dalam kondisi tersebut. Kalau berhadapan sama pengendara motor, seringkali malah tergoda untuk memaki-maki *halah, salah lagi kan? mana terangmu Soph?*, kalau berhadapan dengan orang kelurahan, masih lebih takut KTP dipersulit ketimbang mengatakan kalau petugas itu salah kalau meminta uang pelicin.

Sepertinya hal 'terdekat' yang dapat kita lakukan untuk jujur, adalah mulai dari diri sendiri.

Bagaimana denganmu?

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]